JOGJA Part I

Pukul 23.00 WIB tepat aku terbangun. Sesuai perjanjian, acara itu akan kita mulai dipenghujung malam. Namun entah mengapa, baru pukul 1 dini hari aku berjajar diantara beberapa orang yang masih terkantuk. Sesekali matanya khusyu’ menghadap tanah. Aku lebih menikmati malam sejujurnya. Bukan hidangan atau perbincangan yang tersaji rapih di depanku. Bukan pula wajah-wajah kosong yang masih ingin meringkuk bersama guling-guling mereka. Harusnya aku menikmatnya bukan? Tapi tidak.

            Setelah sekian detik berlalu, perjalanan itu dimulai. Kulangkahkan kakiku diantara embun yang mulai turun. Dalam hatiku, betapa aku merindukan kesunyian ini sejak lama. Kesunyian? Ya, aku merindukannya. Dan roda-roda mulai berputar. ‘Iam coming Jogja’. Salatiga-Boyolali-Klaten-Jogja. Itu akan menjadi perjalanan yang membosankan sepertinya. Tapi tidak, melihat wajah-wajah yang tak kuasa menahan kantuk lantas lenyap bersama lelap, lucu. Ya, menggelikan. Aku berusaha larut, tapi susah. Berkali-kali kukerjapkan mataku, tapi nihil. Lalu aku memilih terpaku di balik kaca mobil. Menikmati suasana fajar dari ufuk timur. It’s perfect fajr. Hampir dua jam berlalu, aroma khas Jogja mulai tercium.

            Jogja, Kota Gudeng dengan  sejuta pesonaa

            Pukul 05.03 WIB, ketika aku mulai merasakan kantuk yang luar biasa, mobil yang kutumpangi berhenti di depan sebuah masjid dekat pantai Parangtritis. Satu persatu keluar untuk menunaikan kewajibannya. Shalat Subuh. Usai shalat, aku kembali ke mobil untuk melanjutkan sisa perjalanan. Sampai di lokasi, gemuruh debur ombak pantai menyapa wajah kantukku. Aku enggan beranjak. Seperti ada perekat di mata. Aku ngantuk berat. Setelah sehari sebelumnya agenda ke Solo, belum sempat tidur, malamnya sudah berangkat lagi ke Jogja. Aih! Dengan berat hati akhirnya aku turun, melewati satu persatu agenda yang telah tersusun untuk hari itu. Outbond, yeah! Sayang, ada satu hal yang terlewat pagi itu. Sunrise. Padahal itu yang kutunggu, bahkan sebelum aku berhasil membaui aroma Jogja sepagi itu. Ia enggan muncul. Mungkin hujan semalam alasannya. “Pyak!” Gulungan ombak Pantai Selatan mencium lututku. Sepertinya ia tahu aku kecewa pagi itu. Aku lari mengejarnya, jatuh, hilang, tertelan. Seperti cincin pemberian sahabatku yang ikut lenyap terbawa arus. Syeduuiih..

            Lalu kepadanya aku bercerita, tentang hujan yang setiap harinya mengguyur kotaku. Menyedihkan. Begitu aku selalu meratap pada tempias hujan di kaca. Sesekali menyeka mata yang mulai basah. Atau kadang berdiri dengan penuh kekosongan.

            Ketika menjelang tengah hari, akhirnya sebuah kata perpisahan menjadi penutupnya. Perjalanan dilanjutkan ke Malioboro. Lagi-lagi tempat ini. Sudah berapa kali aku mengunjunginya. Tidak banyak hal yang aku kerjakan di sana. Meskipun begitu, setidaknya itu sudah membuat kakiku berteriak menyerah meminta untuk rehat.

            Pijakan pertama, langsung kulanghkahkan kakiku menuju Alun-Alun untuk shalat Dzuhur. Tapi karena suatu hal, akhirnya aku pindah haluan dan malah berhenti di RS PKU Muhammadiyah Jogja. Gila, iya. Numpang shalat di rumah sakit. Untuk mengelabuhi satpam yang sepertinya merasa ada hal yang aneh dengan segerombolan anak muda yang mampir di rumah sakit (kebetulan waktu itu aku bersama sembilan temanku yang lain) kami pun berpura-pura layaknya bagian keluarga pasien yang ingin membesuk. Duduk-duk di lobi sampai akhirnya memebranikan diri untuk menannyakan letak mushola.

            Setelah selesai. Perjalanan dilanjutkan untuk berkeliling di Malioboro. Sebelumnya aku sempatkan untuk berpose di Monumen Batik yang letaknya di seberang jalan Benteng Van Der Burgh, ya sekedar untuk kenangan saja. Namun ada hal yang terpaksa membuatku sedikit iba sekaligus syukur. Di pelataran atau mungkin tepatnya trotoar sebelah Monumen Batik kulihat beberapa tuna wisma yang tidur bahkan terlihat acuh dengan padatnya arus lalu-lintas pun juga wisatawan yang berlalu-lalang. Oh God, is this the real life here? Aku tepaksa berdiam sejenak. Bayangkan, diantara megahnyaa gedung-gedung yang masih khas dengan gaya klasik Eropa, kokohnya Tugu Nol Kilometer dan pastinya pesona kota Jogja, masih ada sisi kehidupan lain yang miris ditempat ini. So sad!

            Tidak mau berlama-lama, aku memutuskan untuk melanjutkan perjalanana, berburu souvenir di Malioboro. Jreeeng! Setelah keluar masuk toko dan tidak menemukan hasil perburuan, akhirnya kuputuskan untuk mengisi perut yang sedari tadi berprotes ria. ‘Lapeerrrrr!’

            ‘Byuuuuuuuuur!”

Akhirnya hujan deras menghias Jogja senja itu. Dan aku memutuskan untuk kembali ke mobil sebab tiada lagi yang bisa kulakukan.

            ‘Tunggu aku kembali..’ desahku sebelum mobil melesat di jalan raya.

            *sebab aku memang akan kembali satu minggu lagi dan dua minggu setelahnya.