Luka Bapak

Tiga tahun sudah, Bapak

Kau meringkuk memeluk kesakitanmu,

aku tanya jawabmu tak apa

tahun itu memang bukan tahun kita

jangankan mengenang, mengingat saja aku sudi

hatiku koyak, Bapak

tapi kau selalu berusaha kuat meski lukamu semakin menjadi, darahmu  deras mengucur

‘Ssst, ini takdir Tuhan’… selalu begitu ketika aku mengganti perbanmu

membebat luka yang sungguh tak ingin kusaksikan

tiga tahun berlalu,

lukamu belum apa-apa

beberapa kali kulihat matamu meneteskan kesedihan

ah, Bapak! sudah kuputuskan, lukamu kulupakan

aku harap kau tak lagi memintaku membebat lukamu

aku tak kuasa, Bapak

lukamu masih nyata.

 

 

Buku, Diskusi dan Nyinyir-mu

Di era serba moderen -era digital, internet dan smartphone seakan menjadi pegangan wajib bagi semua kalangan. Di mall, kampus-kampus, pasar, jalan-jalan, bank atau bahkan di dalam transportasi umum, pasti selalu ada pemandangan unik; para manusia yang dirantai barang baru nan ajaib era ini-smartphone. Lalu akan menangis kejang-kejang kalau sampai kuota internya habis dan orang-orang pun ebih sering bertanya dengan barangnya ketimbang orang-orang di sekitarnya. Mereka beranggapan barangnya lebih banyak tahu dan pintar daripada tukang becak di sebelahnya. Meskipun realitanya kadang terbalik. Tentu kita tidak bisa menyalahkan begitu saja. Bisa jadi inilah dampak moderenitas yang tidak dibarengi karakter yang kuat.

Oke, saya tidak akan berbicara lebih jauh soal apa itu moderenitas, internet ataupun smartphone. Terlebih orang-orang yang mendadak memilih berdiam dengan lingkungan sekitarnya dan justru bercakap manja dengan orang di seberang lewat layarnya. Melainkan soal realita berkurangnya minat baca (bukan status di media sosial), maraknya diskusi instan dan nyinyir-mu yang nylekit itu. Kenapa?

Indonesia termasuk negara dengan minat baca yang cukup rendah. Kenyataannya, banyak perpustakaan yang sepi pengunjung, pelajar yang lebih suka copy-paste (karena gooling jauh lebih gampang dan tidak sulit untuk akses internet) dan buku-buku yang mangkrak berdebu di toko-toko buku seberang pasar. Menyalahkan? tentu tidak bisa. Dari masalah tersebut, akhirnya diskusi-diskusi panjang serasa garing alias kriuk, tidak hidup dan hanya menjadi debat kusir yang tak berkesudahan. Pasalnya, sumbernya rata-rata sama; dari Mbah Google yang  lebih sering dari website tak jelas. Maka ketika dalam sebuah diskusi tersebut ada banyak sekali perbedaan nyinyir-lah sudah kesemuanya. Saling hujat karena tak sepaham.

Satu hal yang menjadi pertanyaan besar, kenapa buku seolah menjadi barang asing di tangan-tangan kita? Padahal mempelajari sesuatu hal tidak bisa hanya melihat lingkungan sekitar. Seperti pendapat seseorang beberapa waktu lalu. Ia dengan bangganya mengatakan kalau tanpa membaca buku pun tidak mengapa, diskusi tetap bisa berjalan karena lingkungan sudah meyediakan semuanya.Kita tinggal membaca keadaan sudah cukup dan titik. Menurut saya ini pernyataan ter-absurd  yang pernah saya dengar. Baiklah, membaca memang tidak melulu soal buku. Tapi logika sederhanya seorang akademisi tidak bisa asal bicara. Ngawur itu namanya. Apalagi dalam sebuah diskusi. Karya ilmiah saja perlu ada sumber yang jelas. Ngutip tidak boleh sembarangan. Ini malah membuat pernyataan konyol macam apalah-apalah. Duh, Dek! Akhirnya dengan analogi sederhana saya katakan, buku itu adalah bagian penting untuk menambah khazanah ilmu. Dulu sewaktu sekolah kita bisa baca karena dipaksa membuka buku, bukan?

Kesimpulannya, bagi saya buku itu penting. Supaya diskusi lebih hidup dan terarah. Yang terpenting mengurangi nyinyir-mu, Dek!