[Resensi] Novel Rindu-Tere Liye ‘Seutas Rindu Sepanjang Perjalanan Kapal Haji’

10655185_797460943637809_1335372087822917445_oJudul                : Rindu
Penulis            : Tere Liye
Editor              : Andriyati
Penerbit          : Republika
Tebal Buku      : ii +544 hal; 13.5×20.5 cm
Kota Terbit      : Jakarta
Tahun Terbit    : 2014
Harga              : Rp. 69.000,00

Novel Tere Liye berjudul ‘Rindu’ kali ini berbeda seperti novel-novel biasanya. Bukan lagi soal kisah cinta yang haru biru tapi lebih kepada sejarah masa lampau –meskipun tak sepenuhnya– dan perjalanan panjang sebuah kapal haji. Namun bukan Tere Liye kalau tak bisa membuat penggemarnya terheran-heran.

Terurai ke dalam lima puluh satu bab dari lima kisah yang berbeda, Tere Liye nampak luwes meramu tulisannya hingga menjadi cerita yang begitu apik dan hidup. Kedalaman ceritanya pun seolah menggambarkan penulis novel ini menguasai betul sejarah Indonesia di masa silam.

Secara tidak langsung, novel ini juga mengajak pembacanya berpetualang kembali menyusuri lorong waktu jaman penjajahan. Mengenang sekelumit kisah bangsa ini yang mungkin sudah mulai terlupakan.

Dengan sampul yang terlihat manis, novel berjudul ‘Rindu’ ini ternyata sukses membuat pembacanya terkecoh. Banyak yang mengira novel ini akan membicarakan kisah cinta nan romantis atau sebaliknya –kisah cinta yang tragis. Namun ternyata tidak, novel ini justru bercerita tentang perjalanan panjang kapal haji ‘Blitar Holland’ dengan lima pertanyaan dari beberapa tokoh di dalamnya.

Dimulai dari Bonda Upe dengan kisah masa lalunya yang suram ketika ia dipaksa untuk menjadi wanita penghibur di Batavia. Disusul pertanyaan kedua dari Daeng Andipati –laki-laki kaya raya yang tersohor di penjuru kota Makassar– ternyata dibalik sikap Daeng yang selalu terlihat bahagia ternyata ia memiliki kebencian luar biasa terhadap ayah kandungnya sendiri. Bahkan ia sendiri tak yakin kalau hidupnya sebahagia orang-orang kira.

Lalu kisah Mbah Kakung yang ditinggal mati oleh isteri tercinta dalam perjalanan panjang menuju Tanah Suci. Karena saking cintanya dengan sang isteri, ia merasa bahwa Tuhan tak bersikap adil kepadanya. Kemudian kisah Ambo Uleng, pemuda Bugis yang berusaha pergi jauh dari kenangan masa lalunya bersama seorang gadis asal Pare-Pare. Menariknya perasaan selembut cinta, ternyata mampu merobohkan pelaut sejati macam Ambo Uleng. Meskipun pada akhirnya ia bisa mendapatkan kembali gadis itu sekembalinya dari Tanah Suci. Dan terakhir, dari kisah ulama masyhur yang selalu jadi panutan –Gurutta Ahmad Karaeng– yang menulis tentang kemerdekaan tapi ia sendiri tak mampu melakukannya dengan perbuatan yang nyata.

Di akhir cerita, penulis menuliskan tentang akhir kisah dari masing-masing tokoh. Menyimpulkan lima pertanyaan pada bab sebelum-sebelumnya.

Dari novel ini, bisa kita tarik kesimpulan bahwa Islam ternyata sudah berkembang cukup pesat dan tersebar di seantero nusantara jauh sebelum bangsa ini merdeka. Buktinya dengan perjalanan panjang mereka untuk pergi haji ke Tanah Suci.

Peradaban Indonesia kala itu bisa dibilang juga cukup maju. Pasalnya pada era itu sudah terdapat kapal-kapal besar untuk angkutan haji dan juga trem listrik di Surabaya dan Batavia.

Dari novel ini pula, kita mendapat pemahaman baru bahwa tidak selamanya sejarah silam bangsa ini hanya melulu soal perang dan pertumpahan darah. Penduduk bangsa ini juga bisa tetap hidup normal laiknya biasanya. Meskipun tidak semuanya.

Ditulis dengan bahasa yang renyah dan mudah dipahami, novel ini sangat cocok dikonsumsi oleh para remaja dan orang-orang dewasa. Apalagi nasehat-nasehat yang terselip di dalamnya. Meskipun beberapa kali terdapat kesalahan penulisan namun hal ini tidak mengurangi esensi cerita yang ada di dalamnya.