Sudah dua jam Sutarman mengelilingi kampung tempat biasanya ia menjajakan dagangan. Namun tak satupun ada yang terjual. Dilirik saja tidak. Padahal biasanya sekali keliling dua keranjang Apollo yang dibawanya habis terjual. Anak-anak paling senang dengan Apollo buatannya. Selain harganya murah, Sutraman sering memberi anak-anak bonus; sebilah bambu yang dibuat mirip alat pancing untuk menggantungkan Apollo. Sederhana. Namun bagi anak-anak kampung, mainan seharga lima ratus perak itu lebih dari cukup.
Mungkin uang jajan anak-anak ikut dipuasakan.
Sutarman membatin sambil mengusap peluh di keningnya.
Sudah dua puluh tahun Sutarman menjadi penjaja Apollo buatannya sendiri. Pernah ia mencoba untuk pensiun dan mencari pekerjaan yang layak. Namun cidera di tangan kanan dan tidak memiliki ijasah sama sekali menjadi kendala terbesar yang terpaksa membuatnya kembali lagi menjadi penjaja Apollo. Pernah sekali ia ikut proyek. Tapi baru dua hari bekerja ia terpaksa diberhentikan. Katanya kerjanya sangat lamban. Sedangkan orang-orang proyek biasa bekerja di bawah date-line yang sudah ditentukan.
“Apollo, Dik?” selorohnya sambil menyodorkan plastik bening berbentuk tabung berisi cairan merah muda.
Anak itu hanya melongos sambil melenggang menjauhi dirinya.
Sutarman tak putus asa. Ia kembali berkeliling. Satu persatu anak-anak yang melintas ia tawari. Anehnya semua kompak untuk menggeleng. Persis seperti telah terkomando oleh orangtuanya.
“Bisa jadi rejekiku bukan hari ini,” ujarnya lesu sambil melangkahkan kakinya untuk pulang.
Ia sebenarnya enggan untuk pulang. Apalagi dengan tangan kosong seperti ini. Padahal anaknya merajuk ingin dibelikan baju baru lebaran esok. Belum isterinya yang berpesan supaya ia pulang membawa beras untuk sahur besok pagi.
“Duh, Gusti. Paringono rejeki ingkang cukup.”
Sutarman mengelus dada yang tak lagi menyisakan daging. Kurus kering. Tulang iga-nya pun ikut mencuat keluar. Sebagai kepala keluarga, Sutarman ingin memberikan kehidupan yang laik untuk anak dan isterinya. Ia ingin membelikan baju baru untuk dua anaknya, mukena baru untuk isterinya dan sarung baru untuk dirinya sendiri lebaran tahun ini. Sudah tiga kali lebaran ia tak dapat membelikan sandang bagi keluarganya. Meskipun ia selalu berusaha keras membuat dagangannya laku. Namun apalah arti penghasilan sebagai penjual Apollo. Tetap tidak akan cukup membeli kebutuhan sebanyak itu. Sudah bisa makan opor ayam saja syukur.
“Bapak yang biasa berjualan Apollo kelling kampung ini ya?” Suara dari samping membuat Sutarman terbangun dari lamunannya.
“Iya,” jawabnya singkat sambil memperhatikan laki-laki berperawakan tinggi besar di depannya.
Kalau dilihat laki-laki yang berdiri di depannya ini bukan orang sembarangan. Lihat saja pakaiannya bukan merek dalam negeri. Sepatunya mengkilat seperti disol ratusan kali.
“Teddy.” Ia menawarkan tangannya.
Persis. Kalau dia bukan blasteran pasti anak orang kaya yang hobi pergi ke Eropa. Namanya saja sudah impor begitu kok.
“Pak?” Teddy menggerakan tangannya tepat di depan wajah Sutarman.
“Eh..oh..eee.. Sutarman.” Balas menjabat tangan.
Selama setengah abad Sutarman menghabiskan waktu hidupnya, belum pernah sekalipun tangannya dijabat oleh konglomerat macam Teddy ini. Apalagi sampai didatangi. Pernah sekali ia ikut kerumunan masa menyambut kedatangan presiden. Seperti kebanyakan orang yang ikut hadir saat itu. Ia ingin menjabat tangan presiden lalu mengadukan nasib buruknya yang enggan berpindah. Namun harapannya cukup sia-sia. Kedatangannya bersama rombongan orang-orang yang senasib dengannya ternyata hanya menjadi pagar betis.
“Tidak bosan, Pak, dua puluh tahun menjadi penjual Apollo?” seloroh Teddy seolah takjub dengan kerja keras orang macam Sutarman ini.
Sutarman menggeleng.
“Saya dulu penggemar Apollo Bapak. Kebetulan saya tadi lewat dan melihat ada penjual Apollo. Saya kira sudah ganti. Eh, ternyata masih sama,” lanjutnya dengan ekspresi wajah yang sangat ramah.
“Iya?” Sutarman antusias. Ia tak menyangka Apollo buatannya ternyata pernah digemari Teddy. “Penggemar Apollo Bapak sudah berganti generasi. Namun sayang nasib bapak belum mau berganti,” sindirnya.
Teddy diam sesaat. Tangannya membolak-balikkan isi tas punggung yang dipenuhi lembaran kertas.
“Kalau Bapak besedia, mungkin ini cukup membantu merubah nasib Bapak.”
Selembar kertas putih ia sodorkan pada Sutarman. Tepatnya sebuah formulir. Entah formulir apa, namun kop sebuah rumah sakit terkenal tercetak tebal dibagian atasnya.
Deg!
“Donor jantung?” ungkap Sutarman setengah tidak percaya usai membaca penuh lembaran kertas yang diterimanya dari Teddy.
Teddy mengangguk seolah tidak ada yang salah dengan tawarannya.
“Saya harus kembali. Kalau Bapak bersedia, saya tunggu besok jam 9 ditempat ini.” Teddy melenggang meninggalkan Sutarman yang masih terbengong dengan tawarannya barusan.
“Donor jantung?”
Sutarman terus mengulang-ulang dua kata yang hampir membuatnya tak waras.
“Bocah edan!” umpatnya setengah memaki.
***
Hari kian merangkak naik. Bangku-bangku taman kota terisi penuh. Senja pun ikut melengkapi. Seolah menjadi saksi kebahagian mereka. Dari sekian banyak pengunjung taman kota, ada satu rombongan keluarga yang menarik perhatian Sutarman. Ia bahkan berhenti sejenak untuk menyaksiakan keluarga itu.
“Ah, andai aku seperti mereka!” gerutunya penuh sesal.
Kalau saja Sutarman boleh memilih ia pasti tidak akan memilih dilahirkan dari rahim si miskin. Tapi apa boleh buat, Tuhan sudah berkehendak.
***
“Pak berasnya mana?” tagih isteri Sutarman.
Sutarman berhenti sejenak. Merapikan Apollo yang tak laku hari ini.
“Hari ini ngutang lagi ya, Bu?” seloroh Sutarman kecut.
Tidak ada suara dari bibir isterinya. Perempuan itu juga tidak mengiyakan permintaan suaminya.
“Bu Darmi tidak ingin kita ngutang lagi, Pak. Sayuti dan Nanik minta dibelikan baju baru,”ucapnya lirih lantas meninggalkan Sutarman begitu saja.
Sutarman memilih diam. Ia hapal betul apa yang akan dilakukan isterinya.
“Apa aku harus menerima tawaran dari Teddy?” batinnya dalam hati.
***
Semalam tadi Sutarman memutuskan untuk tidak tidur. Ia ingin menghabiskan malam terakhirnya untuk melihat isteri dan dua anaknya tertidur pulas tanpa beban. Ia sudah memikirkan masak-masak keputusan itu. Meskipun ia tak menginginkannya. Tapi ia tak punya pilihan lain.
“Mau kemana, Pak?” tanya isteri Sutarman pensaran.
Jarang sekali lelaki paruh baya itu berpakaian necis seperti pagi ini.
“Ada orang kaya yang ingin pakai jasaku. Tak usah khawatir. Kita bisa makan hari ini,” jawab Sutarman mantap. Ia tak ingin terlihat sedih di hadapan isterinya. Meskipun hatinya hancur. Tapi apa yang bisa ia lakukan. Apollo bukan jalan untuk mengubah kemiskinan yang melekat padanya sekian tahun ini.
“Dimana, Pak?” Isteri Sutarman tak yakin dengan jawabannya.
Sutarman menggeleng sembari menyunggingkan senyum, “tak usah kahawatir.”
“Jadi ada orang kaya yang suka Apollo Bapak? Pasti Bapak akan pulang dengan uang banyak, kan?” Si Sulung menambahi.
Laki-laki itu tersenyum mengiyakan ucapan anaknya barusan.
“Kita bisa makan ayam malam ini.”
Si Sulung loncat-loncat kegirangan.
“Bapak pergi dulu.” Tangannya ia ulurkan pada isteri dan dua anaknya.
“Ayamnya yang besar ya, Pak!” teriak Si Bungsu.(*)
*Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Dinamika IAIN Salatiga 2014