Info : Beasiswa Data Print

Program beasiswa DataPrint telah memasuki tahun kelima. Setelah sukses mengadakan program beasiswa di tahun 2011 hingga 2014, maka DataPrint kembali membuat program beasiswa bagi penggunanya yang berstatus pelajar dan mahasiswa.  Hingga saat ini lebih dari 1000 beasiswa telah diberikan bagi penggunanya.

Di tahun 2015 sebanyak 500 beasiswa akan diberikan bagi pendaftar yang terseleksi. Program beasiswa dibagi dalam dua periode. Tidak ada sistem kuota berdasarkan daerah dan atau sekolah/perguruan tinggi. Hal ini bertujuan agar beasiswa dapat diterima secara merata bagi seluruh pengguna DataPrint.  Beasiswa terbagi dalam tiga nominal yaitu Rp 250 ribu, Rp 500 ribu dan Rp 1 juta. Dana beasiswa akan diberikan satu kali bagi peserta yang lolos penilaian. Aspek penilaian berdasarkan dari essay, prestasi dan keaktifan peserta.

Beasiswa yang dibagikan diharapkan dapat meringankan biaya pendidikan sekaligus mendorong penerima beasiswa untuk lebih berprestasi. Jadi, segera daftarkan diri kamu, disini.

Like dan follow DataPrint di page DataPrint Indonesia dan @dataprintindo .

Pendaftaran periode 1 : 10 Februari – 30 Juni 2015

Pengumuman                : 10 Juli 2015

Pendaftaran periode 2   : 1 Juli – 25 Desember 2015

Pengumuman                : 13 Januari 2016

PERIODE

JUMLAH PENERIMA BEASISWA

@ Rp 1.000.000 @ Rp 500.000 @ Rp 250.000
Periode 1

50 orang

50 orang

150 orang

Periode 2

50 orang

50 orang

150 orang

Untuk info lebih lanjut silahkan klik di sini.

Belajar Dari ‘Air’

Setiap apapun yang ada di bumi terdapat pelajaran di dalamnya. Begitu Tuhan kita berfirman dalam Kalam-Nya. Tidak lain supaya kita berpikir dan belajar darinya.

Tidak ingin banyak mengeluarkan dalil, saya kali ini ingin berbagi tentang bagaimana kita belajar dari air. Satu kata ini sungguh susah sekali terpisah dari kehidupan kita. Bahkan diri kita sendiri juga bagian dari air. Ia melimpah tapi pernahkan anda berpikir betapa susahnya satu hal ini ketika jauh dari kita. Ah, jangan tanya. Dan kemudian yang membuat saya tiba-tiba menafsirkan yang satu ini ibarat sebuah peluang. Kalau terlalu biasa di dalam hidup kita dan tersedia begitu saja ternyata seringkali membuat kita lupa.

Nah, begini ceritanya…

Bagi anda yang tidak memiliki permasalahan dengan satu ini (kebutuhan air) mungkin tidak akan terpikirkan hal yang sedemikian menyedihkannya ini. Tapi bagi saya yang sudah terbiasa bersinggungan dengan ‘kesulitan’ ini ternyata banyak sekali hikmah besar yang saya ambil. Salah satunya bicara soal peluang. Bagi saya peluang itu seperti air yang notabennay melimpah dan hal yang selalu bersinggungan dengan kita tiap harinya tapi yang memiliki kesulitan untuk mendapatnya mustahil dengan bim salabim air itu akan datang pada kita. Paling tidak kita harus mencarinya agar segala hal yang berhubungan dengan kebutuhan satu ini bisa tercukupi. Nah sama halnya peluang, banyak sekali ternyata peluang ataupun kesempatan yang ada di sekitar kita. Kalau kita tidak menyadarinya seperti banyaknya air di sekitar kita maka ia akan terbuang sia-sia. Tapi kalau kita menyadarinya karena kebetulan saat itu kita membutuhkan seperti kesulitan air yang saya alami dan terpaksa saya harus mencarinya maka saya menyadari peluang itu dan pasti kita akan memanfaatkannya dengan baik. Dan dari kesulitan air yang saya alami terdapat pelajaran berharga. Air itu sama dengan peluang. banyak sekali tapi kalau kita tidak menjadikannya barang spesial seperti ketika kita mengalami kekurangan maka mustahil kita menyadari keberadaannya.

Ah, Tuhan, terimakasih. Kau selalu menyelipkan rahasia besar di balik setiap apapun yang terjadi.

Note : saya memiliki kesulitan pada permasalahan satu ini (kebutuhan air) beberapa waktu yang lalu. Dan itu sungguh menyadarkan saya bahwa ketika saya air yang saya miliki berlimpah maka saya tidak akan pernah tahu bagaimana susahnya mencari air meskipun hanya untuk berwudlu. Sehingga pelajaran tentang arti mengambil peluang ini seperti mengambil air yang tak terbatas dan berlimpah di muka bumi ini di saat kesulitan mungkin tidak akan pernah saya dapatkan.

Aku Tidak Butuh Penjelasan

Sayyidina Ali r.a. pernah berkata, “tak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapapun. Karena yang menyukaimu tidak membutuhkannya dan yang membencimu tidak akan pernah mempercayainya.”

Dari situ jelas sekali bahwa kita tidak perlu menjelaskan sejelas-jelasnya kita siapa kita yang sejujurnya kepada orang yang menyukai kita. Lagipula untuk apa? Jelas-jelas orang yang menyukai kita seperti sahabat misalnya, tidak perlu mendapatkan penjelasan apapun. Sebab tanpa dijelaskan pun pasti ia sudah tahu dari kebaikan-kebaikan kita bahkan keburukan yang paling buruk sekalipun yang kita miliki. Sebaliknya, orang yang membenci kita sejelas apapun yang kita jelaskan bahkan sampai berbusa-busa si pembenci tetap saja pembenci. Apapun yang keluar dari mulut kita (red: ucapan), tingkah lau kita dan segala apapun yang kita miliki pasti akan menjadi cela di matanya.

Namun seringkali kita sebagai manusia lupa akan satu hal ini. Bahkan kita rela berjam-jam menjelaskan kepada orang-orang; ini lho saya, begini lho saya, kurang baik apa saya dan bla bla bla. Untuk apa? Biar orang-orang tahu siapa kita, betapa baiknya kita, kita tidak seperti ini itu? Tapi kalau seandainya apa yang kita jelaskan itu hanya dusta. Jangan-jangan selama ini kita hanya menjadi topeng supaya tetap terlihat baik di mata orang. Namun pada akhirnya kita sendiri yang rugi. Sebab kita tidak menjadi diri kita sendiri.

Jadi, mulai sekarang belajarlah menjadi seseorang yang sedikit-sedikit tidak menjelaskan. Sedikit-sedikit tidak takut mendapatkan judgement dalam bentuk apapun dari seseorang. Toh, kalaupun hal itu tidak benar kenapa juga harus repot. Akan tetapi kalau benar akui saja. Kecuali kalau perlu ada yang diklarifikasi. Tentu persoalan ini sudah lain lagi ceritanya. Sekian…

Note : sebenarnya tulisan ini hanya sekadar tulisan biasa dan nasehat untuk pribadi saya.

Sebelas Bulan

Teruntuk Engkau…

Sebelas bulan memang bukanlah waktu yang singkat. Namun maafkan kami menamai ini dengan pertemuan singkat.

Sebelas bulan memang bukan waktu yang sebentar, tapi maafkan kami yang tak mengenal kalian sepenuhnya. Bukan karena kami enggan, tapi kami sudah berusaha keras mengingat nama kalian. Kami sudah berusaha menghapal wajah kalian, kebiasaan kalian dan suara kalian. Terutama ketika kita harus bersabar mengantri untuk menuntaskan ritual pagi-sore. Tapi maafkan kami, kami tetaplah manusia yang memiliki keterbatasan.

Sebelas bulan, maafkan kami jikalau apa yang kami lakukan masih banyak kesalahan. Kami tetaplah manusia yang tak sempurna. Kesalahan dan ketidaksempurnaan adalah hal yang biasa.

Adikku…

Ketahuilah, jauh di lubuk hati yang terdalam kami sungguh menyayangi kalian. Bahkan ketika dengan tidak sengaja kami mendengar umpatan, cacian atau hujatan tentang kami entah di jalan, kamar atau kamar mandi. Sungguh, kami tidak marah. Meskipun kami sedikit kecewa. Sekalipun apa yang kalian bicarakan kadangkala tidak kami lakukan.

Kalian mungkin akan berpikir darimana kita tahu hal itu. Tenang, kami tidak memiliki mata-mata. Hanya saja kalian mungkin tak hapal dengan wajah kami lalu dengan mudah kalian mengatakan apapun tepat di hadapan kami atau memang barangkali kalian sengaja supaya kami mendengarnya. Maafkan kami.

Dan, adik-adikku…

Ketahuilah, tanggungjawab kami tidaklah mudah. Kami hanya bagian kecil yang harus mengurus kalian dengan jumlah yang tak sedikit. Maafkan, kalau kami terkadang terlihat seperti pilih kasih dalam menyuruh atau meminta sesuatu. Sungguh, tak ada secuilpun niat kami untuk pilih kasih. Hanya kami takut kalau-kalau kami terlalu banyak mengatur. Sedang kalian sendiri sudah dewasa dan tahu apa yang harus kalian lakukan. Sehingga kami memilih kalian yang lebih mengerti kita.

Dan kalian yang mungkin tak akan bersama kami lagi,

Maafkan apa yang kami perbuat. Kadangkala kami terpaksa memaksa kalian. Sebab sejujurnya kami hanyalah ingin yang terbaik. Bahkan disaat kami sudah kehabisan akal, tak jarang kami marah-marah. Bukan lagi di belakang kalian. Tapi kami langsung memarahi. Maafkan kami, sesungguhnya kami hanya menjalankan amanah.

Dan sekali lagi, untuk engkau yang akan menjemput hari-hari baru,

Kami tidak akan minta maaf lagi. Sudah kami cukupkan, dan semoga kita menjadi pribadi pemaaf.

Pesan kami, jangan pernah merindukan asrama kalau kau mengingat luka di dalamnya. Ingatlah kita dalam bingkai senyum dan air mata bahagia.

Dan jangan pernah lagi merindukan air yang kadang PHP, listrik mati saat semua setrika hidup, jemuran yang harus dibereskan kalau ada tamu, sandal yang mendadak hilang sedang kau baru saja beli dengan harga tak murah, kamar mandi yang harus kau bagi saat kau sedang enak-enaknya mencari inspirasi dan terutama rentenir yang tak pernah alpa keliling satu bulan dua kali. Jangan pernah! Jangan pernah merindukan kami, jikalau yang kau ingat itu hanyalah sebait luka yang menyakitkan.

Salam hangat dari kita yang mungkin [tak] akan kau rindukan lagi.

Jangan Pernah Naik Gunung!

Tren yang saat ini sedang banyak-banyaknya digandrungi oleh para kawula muda ialah naik gunung. Meskipun kebiasaan naik gunung sudah ada sejak jaman baheula tapi akhir-akhir ini naik gunung sedang naik daun. Mulai dari anak SMP sampai mahasiswa dan bahkan beberapa kalangan tetua semua mendadak jadi hobi naik gunung. Sampai saya pernah mendapat nasehat barangkali disebutnya, dari seorang teman saya ‘Lo nggak keren kalau belum ngerasain muncak alias naik gunung’. Well, sampai di sini. Yang belum pernah naik gunung ada nggak sih yang merasa enggak keren? Saya pernah sekali, sayang saya tak sanggup mencapai puncak. Dan meskipun begitu saya tidak merasa tiidak keren karena belum pernah menaklukkan puncak manapun. Tapi ada satu yang membuat saya sedikit belum bisa catch-up tujuan dari maraknya hobi dadakan ini. Karena saking banyaknya orang yang saya temui dan dari awal saya kenal bahkan ia tak suka dengan petualangan, alam dan sejenisnya tapi mendadak semangat naik gunung akhir-akhir ini.

Lalu apa sih esensi dari ‘naik gunung’ itu?

Ya, meskipun saya belum pernah menaklukkan puncak manapun, tapi beberapa coretan ini saya dapatkan dari beberapa teman saya yang memang notabennya ialah seorang pecinta alam dan petualang.

Suatu hari si Mr. X ini mengirimkan sebuah pesan kepada saya ‘Jangan pernah naik gunung’. Glek! Apapula maksudnya? Bagi pecinta sunrise dan sunset seperti saya ini [katanya] gunung memiliki hadiah terbaik. Well, saya mengiyakan. Setelah saya telisik alasannya ternyata persoalan sepele yakni sampah dan beberapa perusakan alam. Persoalan satu ini sepertinya menjadi persoalan yang cukup serius. Masyarakat Indonesia kebanyakan belum memiliki kesadaran penuh terhadap pelestarian alam khususnya di bab sampah. Sangat disayangkan, bukan? Dan ternyata benar setelah saya telusuri di beberapa blog orang-orang yang pernah mendaki gunung kebanyakan mereka mengeluhka persoalan sampah, berbagai bentuk vandalism dan kotoran manusia yang menjijikkan di sana sini. Hiii…. Dan entah mengapa saya yakin sekali persoalan yang demikian ini tidak akan pernah terjadi jika pendaki tersebut ialah seorang pecinta alam yang benar-benar mendedikasikan dirinya untuk alam.

Nah, gaes, jadi naik gunung itu bukan sekadar gaya-gayaan saja, ya. Lagipula hakikat naik gunung itu kan supaya kita lebih menghargai alam dan tahu betapa Tuhan yang menciptakan itu sungguh Maha Kuasa. Dan yang paling penting, ‘Lo jangan pernah naik gunung kalau cuma mau nyampah!’. Salam lestari!