Sekelumit Cerita dari 50,9 KM

dsc_0011 Sebagai perantau, jalanan dan berbagai kendaraan umum adalah sahabat. Mau tidak mau tetap bersinggungan. Apalagi bagi saya yang belum punya kendaraan sendiri. Tak jarang banyak sekali hal-hal menarik yang kerap saya temukan. Mulai dari tingkah pengguna jalan yang seenak maunya, kecelakaan parah yang membuat mata ini enggan untuk melihat saking ngerinya dan persoalan tempat duduk –yang sepele kelihatannya. Persoalan tempat duduk di dalam bis itu persoalan yang sepele bukan? Tapi bagi sebagian orang itu menjadi persoalan serius seperti yang baru saja saya alami kemarin lusa. Diawali dengan niat kepulangan saya ke Solo di hari Sabtu. Sebelum berangkat saya memang sudah mengatakan kepada diri saya kalau di akhir minggu seperti ini mustahil bisa langsung dapat tempat duduk ketika naik bis. Lagipula berdiri sepanjang Salatiga-Solo sudah menjadi hal yang biasa bagi saya. Dan dugaan saya tidak meleset. Armada bis yang sudah menjadi sahabat perjalanan saya sejak tahun 2012 itu penuh. Dengan ekspresi datar saya naik dari pintu belakang. Meskipun sedikit kerepotan karena saya menggenakan long dress kondektur yang berjaga di pintu belakang pun sigap membantu saya naik tanpa memegang tangan saya hanya mendorong tas punggung saya. Catat! Baru satu langkah saya sedikit kaget karena 90% kursi yang bejejer di belakang dipenuhi kaum adam. “Duh, apes!” batinku kesal. Bukan apa-apa, pernah mendapatkan pengalaman pahit di dalam bis membuat saya sedikit paranoid kalau berdekatan dengan laki-laki yang tidak saya kenal. Tidak berhenti sampai situ saja, ternyata ada hal yang membuat saya semakin kesal. Ketika posisi saya sudah enak dan mendapatkan pegangan berdiri di hadapan saya ada seorang nenek berusia sekitar 60-an. Dan apa yang saya lihat? Nenek itu berdiri sambil membawa barang bawaannya. Berat? Jangan tanya karena ketika saya coba angkat bebannya lebih berat apa yang nenek itu bawa ketimbang tas punggung saya. Dan kembali melihat sekitar. “Kok tak ada satu pun yang merelakan kursinya, ya, hmm.” Kala itu saya memilih khusnudzon, barangkali bapak-bapak dan mas-mas yang hampir menguasai 50% kursi bis itu sedang kelelahan. Mungkin tadi malam lembur supaya esoknya bisa menjenguk keluarga di kampung halaman atau bisa jadi mereka sedang tidak enak badan karena musim pancaroba penyakit ini itu mulai menyerang. Dimenit-menit berikutnya saya tetap mengawasi sekitar tempat saya berdiri. Berharap ada yang terketuk pintu hatinya merelakan kursinya bukan malah cepat-cepat mendekati penumpang yang mau turun dan duduk dengan ekspresi wajah pura-pura tidak tahu. Dan saya tidak berhasil. Benar-benar tidak ada yang ingin merelakan kursinya. Saya mendekati sang nenek. Ekspresi wajahnya sungguh memelas. Satu hal lagi yang membuat saya shock. Sang nenek menanyai sorang pemuda yang duduk di hadapannya. “Mandap pundhi, Mas?” (turun mana mas?). “Solo, Mbah,” jawabnya ketus sambil memasang muka acuh. “What?” maki saya dalam hati. Tapi bukan itu yang saya dapatkan dari perkataan nenek yang itu. Bagi saya itu adalah sebuah permintaan “bolehkah saya duduk sebentar, Mas. Simbah capek.” Itu! Rasanya sedih. Sungguh menyedihkan. Pemuda itu sama sekali tidak memperlihatkan rasa sopan sedikitpun. Boro-boro sopan, hati nuraninya kemana saya juga tidak tahu. *maaf terbawa suasana* Tidak sampai di situ, menjelang sang nenek turun ada satu kalimat panjang yang sempat ia utarakan. “Lagi sakiki aku numpak bis ngadek soko ket jam 6. Nek ndek mben aku ora tau ngadek. Mesti cah enom kui ngalah ngadek wong tuo kon linggih,” ujarnya dengan nada lumayan keras sambil berjalan mendekati pintu. Yang artinya; Baru sekarang aku naik bis berdiri dari jam 6 sampai sekarang. Kalau dahulu, aku nggak pernah berdiri. Anak-anak muda selalu merelakan kursinya untuk yang lebih tua. Dan saya melirik jam di ponsel saya, sekarang jam 07.53 WIB. Artinya nenek tadi berdiri sekitar dua jam-an. Mata saya berkaca-kaca. Maafkan, kami, Tuhan. Kami lupa kalau Kau memberi apa yang biasa kami sebut hati nurani tapi kami tidak pernah tau apa itu nurani meskipun Kau selalau mengajarkannya. Jelas, dari ucapan nenek tadi banyak sekali makna yang ingin beliau sampaikan. Utamanya soal hati nurani dan moralitas yang sekarang entah kemana larinya. Saya tidak ingin men-judge siapapun. Tapi apa yang dilakukan pemuda tadi paling tidak menggambarkan ke apatisan kawula muda saat ini akan lingkungan sekitarnya. Logikanya sederhana, jelas yang berdiri di sampingnya itu seorang nenek berusia 60 tahun-an. Apa iya dia tidak ingat orang tuanya? Bagaimana kalau yang berdiri itu orang tuanya? Kejadian seperti ini bukan kali pertama yang saya alami. Sering sekali saya melihat fenomena yang sedemikian ini. Belum lama saya juga berdiri dengan seorang wanita hamil tua dan ia sempat mengaduh dan memperlihatkan gelagat yang tidak enak. Tapi nyatanya tak ada yang merelakan kursinya juga. Dan masih banyak yang lainnya. Tapi baru kali ini saja ada yang sampai mengatakannya –seperti nenek ini. Apa barangkali sudah yang demikian ini sudah jadi suatu hal yang lumrah? Mengerikan sekali kalau begitu. Berati sticker dengan tanda wanita, orang hamil, ibu-ibu yang anak, orang tua diutamakan untuk duduk sama saja dipasang. Toh tidak ada yang peduli. Ya, meskipun sama-sama membayar dan sama-sama mendapatkan hak untuk duduk, masak iya karena hal sepele kita lupa akan adabnya dengan sesama manusia terutama di bab persoalan tolong menolong. Wallahu ‘alam. Semoga kita selalu menjadi pembelajar dan peduli terhadap sekitar!

Masak Itu Gampang, Kok!

Hai, good night, selamat malam, sugeng ndalu

Gais, memasak itu susah nggak sih?

Menurut sebagian orang memasak itu gampang, lho, malahan mereka bilang kalau itu pekerjaan yang paling menyenangkan. Tapi kok masih ada yang bilang susah, ya? Kenapa, ya? Baiklah, akan saya ceritakan sekelumit kisah singkat yang mungkin bisa merubah pandangan kalian soal memasak itu susah.

Terlahir di kampung nan jauh dari hiruk pikuk kota alias ndeso membuat saya wajib menguasai urusan dapur. Konon katanya kalau anak kampung tidak bisa masak itu saru. Jadi apapun hasilnya yang penting kalau disuruh ke dapur iya-in saja. Walaupun rasanya yang dimasak cuma asin dan asin, paling tidak bisa membedakan mana yang namanya merica dan mana yang namanya ketumbar. Dan itu yang saya lakukan pas usia saya baru 9 tahun dan masih ingusan githu. Tapi asyik, sih. Meskipun dahulu dapurnya masih pakai tungku  kayu bakar ditambah bonus angus yang nempel di panci. Mungkin bagian dari efek belum lahirnya gadget sama internet sampai pelosok macam desa saya barangkali, ya, jadi urusan dapur bisa jadi alternatif mainan yang greget. *Sungkem dulu sama Mbah Putri, karena dahulu yang ngajarin masak beliau*

Taraaa, pas udah besar baru sadar ternyata usaha simbah ngajarin cucunya tidak sia-sia. Pas banget sama predikat  ‘anak rantau’ yang sudah saya sandang sejak beberapa tahun yang lalu. Jadi kata pepatah itu benar, ya, menanam dulu lantas menuai.

Nah, bagi kamu yang bilang kalau memasak itu susah coba deh dipikir ulang. Kalau susah kenapa pula anak 9 tahun bisa masak.

Sudah dipikirkan? Gimana? Gampang, kan?

Apalagi di era serba gampang ini. Saya yakin urusan yang satu ini tambah lebih mudah lagi. Mau cari resep apa saja sudah tersedia. Demo cara masaknya saja juga sudah ada.

Yang masih belum tau situs mana saja yang menyediakan berbagai macam resep masakan, nih, saya bagi.

  1.  http://resepkoki.co/
    Situs yang satu ini menjadi salah satu referensi saya kalau lagi cari resep baru. Mulai dari masakan ala rumahan sampai berbagai macam kue ada di sini. Bagi yang punya resep hasil percobaan sendiri juga bisa dikirim, lho. Asyik, kan!
  2. https://www.dapurumami.com/
    Siapa yang tak kenal situs yang satu ini? Saya yakin semua pasti tahu. Tinggal daftar saja jadi membernya, resep masakan langsung bisa di akses. Tanpa jadi member pun juga bisa. Tidak hanya itu saja, ada juga berbagai macam tips yang bisa jadi rekomendasi kalian khususnya untuk urusan masak-memasak, ya. Kalau masih bingung dengan cara memasaknya langsung saja akses via youtube. Gampang, kan!

Dan masih banyak lagi tentunya…

Sekian cerita kali ini. Selamat masak. Masak itu gampang, kok!